Skip to main content

Posts

Showing posts with the label cerpen

Night Blue

“Mas, tolong jemput ade. Sepeda motor ade dipakai oleh ibu sore tadi. Jadinya ade tak bisa pulang. Kan sudah tidak ada angkutan umum kalau malam-malam seperti ini  mas. Tolong banget ya mas!” Begitu membaca pesan singkat di handphone yang sudah mulai buram ini, aku langsung memacu motor matic kesayanganku menuju kota kecil itu. Kota dimana terdapat ribuan cerita tentang aku dan kehidupanku. Ah, namanya juga kota kecil. Jika jarum jam sudah menunjuk ke angka lima, maka mustahil ada angkutan umum yang masih berlalu lalang. Hanya menghambur-hamburkan bensin saja. Di sore seperti itu, mana ada para calon penumpang. Sekali lagi, maklumlah kota kecil. Selang setengah jam akhirnya aku sampai di tempat kerja wanita pujaanku itu. Kekasih? Belum! Kakak adik? Apalagi itu! Entahlah, aku bingung untuk menamai apa perihal hubungan kami berdua ini. “Sudah makan mas?” “Wah, kebetulan belum de! Ade sudah makan?” Hmm, wanita manis dihadapanku ini hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Baiklah, kita maka

Tidurlah Hen!

Sehabis bertemu denganmu, entah kenapa aku selalu lupa bahwa aku pernah berjumpa denganmu. Aneh? Tidak juga! Karena itu hampir terjadi berulang-ulang. Sama halnya dengan yang terjadi pada sore tadi, "Kak, tadi malam aku lupa mengembalikan bunga ini padamu!" Tadi malam? Apa yang terjadi semalam? Bukankah aku tak kemana-mana? Tapi kenapa tadi sore Rara berkata seolah-olah semalam dia berjumpa denganku. Bawa bunga segala. Aku benar-benar heran dibuatnya. "Hen, apa yang sedang kau pikirkan? Hari sudah menjelang pagi. Tapi kenapa engkau masih belum tidur juga?" "Mak, apakah semalam aku bepergian keluar rumah? Perasaan aku hanya berbaring disini semalaman. Tolong mak jawab pertanyaanku ini! Aku benar-benar bingung dengan keadaanku saat ini." "Kau tidak kemana-mana Hen! Hanya pikiranmu saja yang kemana-mana. Sudahlah, tidur sana! Besok, pagi-pagi sekali kita harus ke rumah sakit lagi. Istirahat sana!" Ke rumah sakit lagi? Ah, apa-apaan pula ini. Menurut

KALI KELUK

Geger kembali terjadi di kampung Sangga. Kali ini, Tosin, berandal kampung Sangga yang terkenal memiliki ajian welut putih ditemukan tewas bersimbah darah. Mayatnya ditemukan di pinggiran kali Keluk. Mengenaskan! Mungkin begitu kalimat yang tepat untuk menggambarkan keadaan mayat si Tosin. Bagaimana tidak mengenaskan, kepalanya hancur. Seluruh isi kepala si Tosin keluar berhamburan. Lehernya nyaris putus. Lengan sebelah kirinya hilang. Dan bukan itu saja, alat kelamin si Tosin hilang entah kemana. Seluruh warga yang penasaran berhamburan menuju tepi kali Keluk. Kali yang membelah desa Sangga menjadi dua dukuh itu memang selalu menyimpan misteri. Dan pagi ini, ditepian kali itu, si Tosin ditemukan tewas secara mengenaskan. "Kang, apa benar dia si Tosin?" "Iya Ja. Dia memang  Tosin. Gelang yang ia pakai dan tentu saja tatto berbentuk huruf jawa itu tak bisa membohongi kita!" "Hmmm.... Kira-kira, siapa yang mebunuhnya kang? Atau jangan-jangan...." "Entah

MEMBUNUHMU

Gadis berkacamata itu masih saja menyunggingkan senyumnya. Ah, jilbabnya yang anggun mulai mengusik ketentraman hatiku. Masih seperti kemarin... Aku hanya bisa menatapmu dari balik jeruji kamar ini. "Siapakah engkau?" Begitu gumamku dalam hati. Namun apalah artinya pertanyaan tanpa sebuah jawaban. Bukankah itu hanya menyakitkanku saja. Ya, sakit. Sama seperti takdirku yang meringkuk di kamar biadab ini. "Saudara Bondan, ada yang ingin menemuimu. Silahkan bersiap-bersiap menemui tamumu itu. Oh ya, wajahnya boleh juga!" Sipir bermata sipit ini sepertinya mengejekku. Ah, sudahlah! Tak ada gunanya pula bermusuhan dengan anjing seperti dia. "Assalaamu alaikum...." Deg! Ternyata tamuku kali ini adalah gadis itu. Gadis berkaca mata dengan kerudung lebar yang aku curi wajahnya dari jeruji besi itu kemarin pagi. "Maaf pak. Sedari kemarin saya mencari Bapak. Ketika kemarin saya hendak menemui Bapak, tiba-tiba isteri Bapak menyuruh saya untuk menemuinya terlebih

LOVE STORY

30 Agustus 2015 Mencintaimu adalah kutukan terindah dalam lembaran hidupku. Mencintaimu, hanyalah mengenang luka-luka lama. Luka yang masih berjejer rapi dalam dinding kamarku. Nun jauh disana, dilubuk hatiku yang terdalam, engkau hanyalah samudera perih yang memuakkan. Sungguh! Apatah ada lagi sesuatu yang lebih memuakkan selain mencintaimu? Tak ada! Sekarang..... Ketika jampi-jampi cinta itu mulai sirna, ternyata berkebalikan dengan apa yang aku harapkan. Kau.... benar-benar mencintaiku. Apa yang harus aku lakukan? Sedangkan ranum kebencian masih bersemayam mesra dalam ingatanku. 2006 "Maaf mas.... Aku hanya menganggapmu sebagai kakak... Maafkan aku...."

Inlander

Sungguh, untuk kesekian kalinya aku merasa dibohongi oleh para petinggiku di Holland sana. Hmm, inlander yang ada di depanku ini adalah bukti nyata kalau petinggi-petinggi di negeriku benar-benar pembual. "Apa yang Tuan pikirkan? Silahkan Tuan ambil nyawa saya ini. Tapi sekali lagi, jawab dulu pertanyaan saya tadi! Apakah tindakan Tuan di tanah kami ini sudah sesuai dengan ajaran Agama Tuan?" Untuk kesekian kalinya, perkataan inlander ini benar-benar mencabik-cabik jiwaku. Dia benar, sebagai penganut Kristen, aku memang tidak diajarkan untuk mengambil milik orang lain dengan semena-mena. Walaupun aku merasa bahwa tanah ini adalah milik kami, namun cara kami untuk mendapatkan tanah ini sungguh tak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada pada ajaran agamaku. Aku percaya bahwa karena kekuasaan Tuhanlah kami dapat menaklukan negeri ini. Tapi sungguh ironi. Penaklukan yang konon oleh para penguasa di negeriku sana sudah dimulai sejak lama, namun pada hakikatnya pe

PENGUNGSI (BANJIR DARAH DI KAMPUNG JATI)

Malam benar-benar mencekam di kampung Glagah. Penyerangan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan Belanda dan antek-antek mereka pada malam sebelumnya benar-benar membuat warga kampung trauma. Bahkan sebagian besar dari mereka sudah mulai mengungsi semenjak pagi tadi. Dengan dikawal beberapa pemuda kampung yang masih hidup, sebagian warga kampung Glagah diungsikan ke tempat yang lebih aman. Kampung Jati tujuan mereka. Selama ini kampung Jati adalah kampung yang dianggap paling aman. Entah kekuatan apa yang melindungi kampung itu. Yang jelas, setiap laskar pejuang yang masuk ke kampung itu, dapat dipastikan aman dari tentara-tentara Belanda dan antek-anteknya yang memuakkan itu. "Kang, sebentar lagi tugas kita selesai. Lihatlah bukit itu! Dibalik bukit itulah tujuan perjalanan kita. Kampung penyelamat, kampung Jati." Suara pemuda yang berparas tampan dengan kumis tipis yang membentang lebar itu sedikit memecahkan suasana. Sementara yang diajak berbicara hanya m

PERCAYALAH, TUHAN ITU TIDAK ADA

Untuk pertama kalinya aku bertemu dengan wajah itu. Wajah yang selama ini tertutupi hanya dengan sebuah nama. Manusia Biasa . Begitu nama akun blog miliknya yang dengan setia hampir setiap postingannya aku baca. Sungguh tak ada sesuatu yang istimewa yang muncul dari dirinya. Begitu kesan pertama kali ketika aku bertatap muka dengannya. Hanya satu ciri yang menonjol, badannya besar. Ah, untuk ukuran orang asia, dia terlalu besar. Rambutnya yang gondrong dan mulai terlihat memutih semakin menambah kekhasan dirinya. "Bagaimana anak muda, apakah engkau masih percaya dengan adanya Tuhan?" Suaranya menggelegar. Mungkin dari sudut gedung ini yang letaknya sekitar dua puluh meteran dari keberadaan kami, suara itu masih bisa terdengar dengan jelas. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Lantas ia pun kembali berbicara dengan kata-kata yang sudah sangat familiar di mataku. Ya, dimataku. Karena kata-kata yang ia ucapkan itu senantiasa muncul di home blog miliknya. Ha ha ha. &qu

NGUPIL

Kau tahu, betapa kebesaran itu terkadang menjadikan seseorang berlaku sombong. Mulai dari kebesaran baju, sampai kebesaran celana.... Mbuehehe... Mungkin mereka perlu belajar pada jari kelingking. Lihatlah, walaupun ibu jari lebih besar, tapi si kelingking paling sering digunakan oleh kamu... iya kamuuuu  (#terdodit dodit...) untuk melakukan suatu aktivitas besar dan maha penting dalam hidup. Apa itu? NGUPIL!!! Bagaimana rasanya jika kamu menggunakan ibu jari untuk mengupil? Nggak asyik kan? Mbuehehehe........ Begitulah hidup. Besar maupun kecil sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Jadi, ketika engkau merasa besar atau sedang besar, janganlah kau jadikan kebesaranmu itu menjadi kecongkakan, apalagi kesombongan.... Stay cool man :) Happy Ramadhan.

PADA SUATU MALAM DI HUTAN SUATU PULAU

"Syarif, terserah kau sekarang! Yang jelas, aku bukanlah lelaki pengecut yang menembak seseorang tanpa senjata. Aku adalah lelaki yang memiliki harga diri. Dan perjuangankupun ini adalah dalam rangka menegakkan harga diri kami selaku muslim yang selama ini teraniaya. Syarif, aku memang saudaramu. Dan tidak sepantasnyalah kita saling berhadapan seperti ini. Tapi inilah jalan hidupku. Aku tak mungkin mengikutimu, pun sebaliknya. Syarif, aku berharap, diakhirat nanti kita berbagi kebahagiaan bersama. Sama seperti dua puluh tahun yang lalu. Masih ingatkah kau Syarif?" Aku hanya terpaku mendengar perkataan sahabat baikku itu. Dua puluh tahun yang lalu..... Dua puluh tahun yang terasa singkat bagi kami. Aku masih ingat kala terakhir bertemu dengan sahabatku ini. Pagi itu, dengan dihantarkan kedua orang tuaku, aku berpamitan pada guru kami tercinta, almarhum romo kyai Muslim. Di kediaman Beliaulah terakhir aku bertemu dengan Rusmin, sahabatku itu. Baru dua minggu ia menjadi khodam d

LASIH, SANG KEMBANG DESA

Malam semakin larut. Biduan-biduan cantik dari grup organ tunggal yang sedang meramaikan pesta pernikahan itu semakin menggairahkan. Tidak hanya suara saja yang mereka pamerkan. Keseksian gerakan tubuh dan desahan-desahan menggemaskan mereka keluarkan dengan penuh candaan. Tamu undangan dan penonton semakin malas untuk meninggalkan kemeriahan pesta itu. Sementara itu di kamar pengantin, sang pengantin pria sudah bersiap-siap menunaikan kewajibannya. Senyumnya merekah, matanya tajam seperti singa yang hendak menangkap mangsanya. Lasih, begitu nama sang mempelai wanita, masih tertegun dihadapan lelaki yang telah dengan sah menikahinya. Tidak seperti sang mempelai lelaki, perasaannya justru berseberangan dengan lelaki yang ada dihadapannya. Ah, andai dia tahu, ini bukan pertama kalinya aku merasakan keringat lelaki. Dan sebentar lagi mungkin dia tahu.  Apa yang harus aku lakukan? Apakah dia akan rela menerima keadaanku yang sesungguhnya? Atau... jangan-jangan malam ini m

THANKS FOR THE MEMORIES

Aku tak tahu, apa lagi yang harus aku lakukan setelah melepasmu pergi. Dahan cemara masih basah waktu itu. Sementara dedaunan limau masih menunggui embun dengan cantiknya. Oh sungguh mengharukan. Tak terasa butiran air jernih menetes di pipi mungilku. Sekali lagi, apa yang harus aku lakukan setelah aku melepas kepergianmu? Bukit di utara sana berdiri dengan tegarnya. Ingin sekali aku menirunya. Tapi.... bisakah aku? Seperti merpati yang kehilangan satu sayapnya, begitulah gambaran jiwaku waktu itu. Perlahan namun pasti, kau bunuh sisa-sisa rindu yang terkadang masih menyapaku. Begitu kejamkah dirimu? Dan untuk kesekian kalinya, apa yang harus aku lakukan setelah melepas kepergianmu? Lukisan wanita yang berjudul "Violet" itu masih menempel di dinding kamarku. Lukisan yang kau berikan sepuluh tahun yang lalu. Lukisan yang kau buat sendiri dengan jari-jari indahmu itu. Masih ingatkah kamu? Sepasang sapu tangan dengan bordir "hati" ditengahya masih kulihat di almari pak

KAMAR 7

Bahar masih menikam gadis cantik itu di depanku. Laksana singa yang sedang kelaparan, berkali-kali ia tusuk perut wanita pujaannya itu. Seperti kesetanan, ia tak mempedulikan lagi sekitarnya. Bahkan aku yang berada kurang lebih tiga depa dari badannya seakan tak kelihatan dimatanya yang nanar. Merah. Menyeramkan. Sungguh mengerikan! Sungguh pemandangan yang berbanding terbalik. Sejam yang lalu, Bahar, seorang lelaki muda dengan bekas sayatan silet diwajahnya, masih berbincang manis dengan wanita itu. Sepengetahuanku, mereka sudah menjalin hubungan terlarang itu semenjak tiga bulan yang lalu.  Rosmela nama wanita itu. Aku dikenalkan padanya oleh Bahar ketika aku baru saja menghirup udara kebebasanku. Di depan para sipir yang sudah berteman denganku selama empat belas tahun ini, ia memperkenalkan Rosmela sebagai kekasih barunya. Ah, Bahar, kelakuanmu masih saja sama. Suka bermain wanita. Semenjak itu, aku dan Rosmela biasa bertemu di gang itu. Gang yang berisi para mami deng

SELAMAT SIANG CINTA

Selamat siang cinta..... Sama seperti hari kemarin, aku masih mengais sisa-sisa rindu yang mulai pudar termakan zaman. Entahlah, mungkin aku sudah bosan dengan ketiadaanmu yang selalu menghardik batinku. Disini, sepuluh tahun yang lalu, aku memberimu sepasang mawar merah. Sepasang mawar yang mengoyak seluruh jasadku sampai habis. Sepasang mawar yang membunuh cintaku dengan angkuhnya. Suasana taman itu masih seperti dulu. Hanya ada bougenville yang terlihat semarak dari balik gubuk ini. Sementara burung-burung manyar yang selalu bernyanyi di tepi kolam itu kini tinggal guratan semu. Tak ada lagi nyanyian merdunya. Sama seperti diriku, kehilangan kemerduan wajahmu. Aku masih disini cinta. Sekadar menatap taman dan kolam yang mulai mengering itu. Ah, mengering di musim hujan. Sungguh mencengangkan! Cinta.... Masih sama seperti dulu. Aku masih bersandar di pohon mahoni di depan gubuk ini. Seakan ada dirimu disampingku. Ah, sungguh menyakitkan! Upz, seorang anak kecil bermain balon di sampi

A LETTER OF LOVE

Kasih.... apa yang kau lakukan malam ini untuk mengenangku? Membaca puisiku? atau hanya sekedar menyebut namaku di hatimu? Jadi ingat ketika masih SMA dulu. Malam menjelang pagi seperti ini, aku masih mengeja sedikit demi sedikit namamu. Sembari mendengarkan surat-surat cinta yang biasa dibacakan oleh penyiar favoritku di radio itu. Radio gaulnya anak muda masa itu. Ah, sungguh indah. Apalagi setelah pembacaan surat cinta itu selesai, biasanya langsung diputarkan lagu yang pas sekali dengan isi surat cinta itu. Oh syahdunya. Kasih... Jujur, untuk mengingat namamu saja aku susah. Bukan karena aku melupakanmu ataupun membenci setiap pertemuan yang terjadi saat ini, bukan! Bukan itu! Aku hanya ingin mengenang yang indah-indah saja. Hanya itu sebenarnya. Tapi entah mengapa ketika aku teringat wajahmu, rautan-rautan kepedihan itu muncul begitu saja. Rautan yang masih tertanam hingga sekarang. Kasih.... Itulah sebabnya aku mulai tak berdaya ketika mencoba mengeja namamu, huruf demi huruf. Ka

MBAH SURO

Semenjak kematian mbah Suro, dusun Glathak semakin senyap setiap malamnya. Mbah Suro, lelaki paruh baya yang terkenal dengan ketinggian ilmu kanuragannya akhirnya tewas mengenaskan di tepi kali Tajum. Kepalanya sampai sekarang belum ditemukan. Hanya tubuhnya yang tak berkepala saja yang ditemukan di pinggir kali seminggu yang lalu. Yang mengherankan, tak setetespun darah yang mengalir dari bagian tubuhnya yang terpotong itu. Sungguh mencengangkan! Masih lekat diingatan kang Tarsun ketika seminggu yang lalu ia bersama kang Bodong menemukan jasad mbah Suro. Pagi masih buta ketika kang Tarsun dan kang Bodong berangkat memancing ke kali Tajum. Dua lelaki yang sudah bersahabat semenjak kecil itu memang punya kesamaan dalam banyak hal, termasuk memancing. Tak seperti biasa, pagi itu mereka sengaja memancing di sebuah kedhung yang terkenal dengan keangkerannya. Kedhung yang berada di kali Tajum itu bernama kedhung gathuk . Entah apa yang melatari pemberian nama tersebut. Yang jelas, di bagian

MONOLOG JIWA

Aku mungkin masih bisa menari disela-sela pagi. Mungkin, ya mungkin. Tentu saja ketika engkau sedikit menyibakkan wajahmu dari balik tirai yang tak beraturan itu. Mungkin? Ya, mungkin. Tapi aku adalah lelaki yang tidak menyukai kemungkinan. Sangat..... sangat membenci kemungkinan. Mendengar kata "mungkin" saja perutku serasa mual. Muak! Aku tidak tahu kenapa. Sedari kecil, aku sangat membenci kemungkinan. Sekali lagi aku tak tahu mengapa. Aku hanya menyukai kepastian. Walau pada akhirnya, karena kepastian itulah jiwaku terkoyak..... terhuyung...... lemah tak berdaya. Hal apalagi yang lebih menyakitkan dari pada matinya jiwa? Bisakah kau menjawabnya? Tepukan-tepukan kemungkinan makin menyesakkan dadaku. Bencana-bencana kepastian makin menohok tulang belulangku. Ah, apa pula ini. Mungkin perkataanku hanya berlaku ketika engkau sudah berhasil memaku ruhku di samping kamarmu..... Sadarkah kamu?

SALAHKAH AKU MENCINTAIMU ?

Mencintaimu sungguh menjemukan. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan agar kamu mencintaiku. Jangankan mencintaiku, memperhatikanku saja sepertinya tidak. Sungguh melelahkan ! Tapi aku benar-benar tidak sanggup untuk membendung cintaku yang menggebu-gebu ini. Harus bagaimana aku ini ? "Selamat pagi mas ? Oh ya, nanti sore datang ya ke rumahku. Ada yang hendak aku sampaikan kepada mas. Datang ya !" Aku hanya tersenyum. Belum sempat aku menjawab pertanyaanmu, engkau sudah hilang tertelan pagi. Ah, mengesankan. "Assalaamu 'alaikum.... " "Wa'alaikumussalaam warahmatullah....  Selamat datang mas. Silakan duduk !" Untuk sejenak engkau pergi dari ruang tamu. Entah apa yang kau kerjakan di dalam. Sementara mataku mulai memandangi setiap sudut ruang tamu di rumahmu yang mungil itu. Ada goresan pena pada dinding yang bercat pink itu. Umi, I love you....  Hmm, sungguh indah tulisan itu. Ada juga kaligrafi berlafadz basmallah. Jika dipandang dar

CATATAN CINTA

Setelah kepulanganku ini, mungkin aku tidak lagi dapat melihatmu. Entah besok atau lusa ketika aku singgah disini, ya disini, mungkin aku bisa menikmati lagi segelas teh manis buatanmu. Atau sekedar melepaskan pandanganku ke arah wajahmu yang ayu itu. Sungguh aku merindukan semua itu. Aku tak dapat lagi berkata-kata. Hanya catatan kecil ini yang bisa kutinggalkan untukmu. Catatan kecil yang entah akan kau baca atau tidak. Sungguh, aku tidak bisa meninggalkan apa-apa kecuali catatan ini. Cinta memang sulit diterka. Seperti anak panah yang lepas tertiup angin nan kejam. Ia bisa menembus siapa saja, tak terkecuali aku dan .... kamu. Aku tidak tahu, bagaimana bisa keacuhanku menjadi cinta di jiwaku. Aku hanyalah lelaki kecil yang tak beralas kaki, dan kaupun tahu itu. Kenapa dan untuk apa aku mencintaimu ? Akupun tak tahu. Yang aku tahu, bahwa cinta tak pernah salah. Itu saja ! Adakah pertanyaan seperti itu dalam hatimu ? Saat ini aku harus pergi. Sudah lama aku tak melakukan perjalanan se

LELAKI TERLUKA

Aku hanyalah lelaki yang terluka di ujung senja. Seperti malaikat yang rapuh tanpa sayapnya. Namun, aku tetaplah lelaki. Dan sifat kelelakianku ini akan selalu menuntunku untuk bergerak, walau dengan ribuan luka. Sudah puluhan wanita aku taklukkan, tapi kali ini sungguh aku tak berdaya melawan keperkasaanmu,wahai pujaanku. Ribuan kata manis dan berderet-deret gurindam cinta tak lagi kau hiraukan. Bahkan, guna-guna asmarakupun tak lagi berguna. Sia -sia ! Sungguh mengenaskan. Kau kukenal dari balik jeruji itu. Jeruji hitam yang mulai tenggelam dimakan zaman. Kau wanita itu. Ya, wanita dari balik jeruji. Mungkin karena itulah engkau ditakdirkan perkasa. Namun aku bukanlah Yudhistira, yang begitu saja menyerahkan Drupadi kepada Kurawa karena kekalahan dadu-dadu durjana. Bukan ! Bahkan aku ingin seperti Rahwana. Menculik Shinta bukan karena nafsu birahi semata, tapi karena pengetahun yang merupakan wisik dari pada Dewa. Bukankah kesaktian adalah pengetahuan? Ah sudahlah, kita tinggalkan sa