Alasan Kenapa Saya Enggan Menjadi Petani

Alasan Kenapa Saya Enggan Menjadi Petani


Selamat sore wahai penduduk bumi yang budiman. Bagaimana kabar kalian sore ini? Semoga dalam keadaan sehat wal afiat. Kalau saya mah lagi flu berat ini. Do'ain yah gaes biar cepat sembuh.

Flu kok nulis?
Ya daripada berak!  #huek...

Kali ini saya akan sedikit bercerita, tepatnya sih curcol, tentang kehidupan saya pribadi yang jarang diketahui makhluk halus. Wkwkwkwk.

Curhatan saya kali ini mengenai alasan kenapa saya enggan menjadi petani?

Sebagai anak kampung yang tidak dilahirkan di kota, kehidupan bertani bukanlah hal yang asing buat saya. 

Sedari saya duduk di bangku sekolah dasar sampai duduk di kobaran api cintamu, ladang dan sawah adalah salah dua sahabat saya.

Yupz, saya sering membantu nenek dan kakek saya untuk merawat ladang dan juga sawah. Mulai dari menanam benih (muwur), menyiangi, bahkan sampai panen saya sering membantu kakek dan nenek saya.

Pun demikian dengan ibu dan almarhum ayah saya. 

Kalau ayah tidak begitu sering. Karena pekerjaan Beliau di salah satu perusahaan oto bus jurusan Purwokerto-Sidareja (Cilacap), otomatis bekerja sebagai petani hanyalah sambilan atau sekedar membantu kakek dan nenek saya saja.

Kalau saya sering membantu. Kenapa? ya elah, di zaman dulu, salah satu tempat bermain favorit bagi anak kampung seperti saya ya di ladang yang kebetulan sekali disitu terdapat aliran kali Tajum.

Saya dan teman-teman kecil saya biasa lumban atau mandi di sungai itu.

Jadi sembari bermain, kami pun ikut membantu orang tua maupun nenek kakek kami bekerja di ladang. Sungguh mengasyikkan.

Tidak seperti zaman now, terakhir saya ke ladang, saya tidak melihat ada anak-anak kecil bermain disitu. Beda zaman gitu loch :)


Alasan Kenapa Saya Enggan Menjadi Petani

Kembali lagi ke cerita....
Begitu terus pergumulan hidup saya hingga saya beranjak dewasa. Sekolah, bermain dan ke ladang/sawah.

Setamat SMA pun saya masih sering bersama nenek dan kakek pergi ke ladang. Apalagi waktu itu kakek saya memiliki kambing. So, hampir tiap hari saya dan kakek ngarit atawa mencari rumput untuk makanan kambing kakek.

Setelah tamat SMA itulah pikiran saya melayang kemana-mana, termasuk masalah pekerjaan.

Harap maklum, ketika itu masih banyak teman saya yang hanya berhenti di bangku SD dan SMP saja, sehingga ketika saya lulus SMA sudah banyak teman yang sudah memiliki pekerjaan sendiri. Kebanyakan merantau di Jakarta.

Tapi entah kenapa, sedari dulu tidak pernah terpikirkan oleh saya untuk kerja di sana (Jakarta). Saya ingin kerja di tempat yang dekat dengan orang tua dan tempat tinggal saya. Pikiran saya waktu itu, apakah harus jauh-jauh ke Jakarta untuk sekedar mendapatkan uang?

Sempat terpikirkan juga oleh saya untuk bertani atau berdagang sebagaimana pekerjaan yang dimiliki oleh kakek dan nenek serta ibu saya. Bahkan konon katanya, buyut saya (kakek dari bapak) adalah pedagang yang sukses. Tanahnya sangat banyak. Saking banyaknya, tanah buyut saya masih dapat dinikmati oleh generasi saya, bahkan generasi berikutnya. Yupz, sepupu-sepupu saya sudah ada yang memiliki momongan. Dan alhamdulillah, peninggalan buyut kami berupa tanah dan sawah masih sedikit-sedikit bisa dinikmati.

Mungkin itu juga salah satu faktor kenapa saya senang berjualan hingga sekarang. Apapun dijual gaes. Ada buku -buku bisnis best seller yang sudah terjual puluhan ribu, bahkan sekarang mungkin sudah mendekati jutaan eksemplar (kesini saja untuk bisa memiliki buku-buu tersebut), mesin pertamini, dan masih banyak lagi.

Hampir semua saya pasarkan secara online. Terakhir, saya ditawari untuk menjual tablet baru dengan harga yang super duper murah. Bisa cek kesini kalau teman-teman ingin memiliki gadget murah dengan kemampuan yang oke punya tentunya.

Nah, karena postingan ini berjudul kenapa saya enggan menjadi petani, langsung saja saya tulis alasannya. 


Alasan ini masih berkaitan erat dengan pengalaman saya selama "bertani" dengan kakek dan nenek saya.


Menjadi petani itu banyak susahnya. Asli... Inilah alasan utama saya enggan menjadi petani.

Dapat dikatakan serba susah. Bayangkan saja, mulai dari mencari bibit, sulit dan mahalnya harga pupuk, perawatan ekstra seperti menyiangipun kadang harus membayar tetangga/orang lain. Dan puncaknya ketika panen tiba. Harga hasil pertanian tak seberapa.

Si malakama memang menjadi petani. Satu sisi kami ingin harga hasil panen mahal. Satu sisi lagi, konsumen tentu saja menginginkan harga murah.

Parahnya, justru para tengkulak besar lah yang menurut saya menuai keuntungan. Bukan petani sebagai sokoguru utamanya. Entahlah....

Tapi itulah yang terjadi bertahun-tahun.....

Pola pikir sayapun terbentuk untuk tidak mau menjadi petani. Susah bro... Apalagi petani gurem. Bisa makan saja syukur.

Saya berharap, semoga kehidupan petani di negeri ini secara bertahap semakin baik. Dan harapan saya juga, semoga banyak anak-anak muda dengan keilmuan nya yang mumpuni, khususnya ilmu pertanian modern, bisa memberikan kontribusi yang nyata untuk para petani.

Bagaimana dengan pemerintah? Saya ndak mau ngomong. Karena sudah menjadi tugas mereka untuk mensejahterakan semua warga di negeri ini, termasuk petani :)

Sekian tulisan yang saya beri judul Alasan Kenapa Saya Enggan Menjadi Petani.

Yang jelas, untuk saat ini saya masih enggan untuk bertani. Entah beberapa tahun kemudian. 

Salam sejahtera untuk kita semua.











Popular Posts