Skip to main content

Inlander

Sungguh, untuk kesekian kalinya aku merasa dibohongi oleh para petinggiku di Holland sana. Hmm, inlander yang ada di depanku ini adalah bukti nyata kalau petinggi-petinggi di negeriku benar-benar pembual.


"Apa yang Tuan pikirkan? Silahkan Tuan ambil nyawa saya ini. Tapi sekali lagi, jawab dulu pertanyaan saya tadi! Apakah tindakan Tuan di tanah kami ini sudah sesuai dengan ajaran Agama Tuan?"

Untuk kesekian kalinya, perkataan inlander ini benar-benar mencabik-cabik jiwaku.

Dia benar, sebagai penganut Kristen, aku memang tidak diajarkan untuk mengambil milik orang lain dengan semena-mena. Walaupun aku merasa bahwa tanah ini adalah milik kami, namun cara kami untuk mendapatkan tanah ini sungguh tak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada pada ajaran agamaku.

Aku percaya bahwa karena kekuasaan Tuhanlah kami dapat menaklukan negeri ini. Tapi sungguh ironi. Penaklukan yang konon oleh para penguasa di negeriku sana sudah dimulai sejak lama, namun pada hakikatnya penaklukan itu hanyalah pepesan kosong belaka.

Bagaimana dikatakan sudah menaklukan, sedangkan perlawanan demi perlawanan dari inlander seperti orang ini sudah ada sejak dulu kala. Dan sekarang, manusia macam ini masih banyak di tanah perlawanan ini. Bahkan makin banyak sahaja. Hmmm...

Bagaimana mungkin juga dikatakan telah menaklukan ketika hati-hati mereka memberontak di tengah-tengah mulut mereka yang terbungkam. Ah, pembual semua para petinggi di kerajaanku sana!

Dahulu,sebelum aku ditugaskan di tanah ini, mereka bilang kalau inlander-inlander macam itu orang adalah orang-orang bodoh. Nyatanya, ketika aku menginjakkan kakiku di tanah ini, betapa banyak orang-orang yang sudah biasa membaca buku-buku tebal yang aku sendiri tak tahu buku apa waktu itu.

Mereka terbiasa membaca itu di tempat-tempat ibadah mereka. Mereka menyebut tempat itu sebagai langgar. Ada juga yang menyebutnya Mesjid. Biasanya mereka membaca buku tebal itu ketika pagi-pagi sekali dan ketika malam hari. Mereka biasa berkumpul disana. Aku lihat ada salah satu orang yang menurutku sedang memberikan pidato atau apapun itu. Dan mereka yang mendengarnya senantiasa membawa buku tebal. Kadang juga buku tipis.

Bukan di langgar atau mesjid sana aku melihat inlender-inlander itu membaca. Di suatu tempat yang disebut padepokan, aku juga sering melihat anak-anak muda yang biasa disebut dengan cantrik sedang membaca buku tebal. Kusam bukunya. Tapi yang jelas, tak sepenuhnya omongan para penguasa di negeriku sana bisa dipercaya. Mereka para inlander ternyata sudah tak asing lagi dengan tulisan.

Bahkan, mereka memiliki peninggalan-peninggalan budaya yang luar biasa menurutku. Mulai dari alat-alat yang bisa mereka gunakan untuk bercocok tanam, alat-alat dapur dan yang membuatku kagum, ada belasan bangunan yang sudah berusia ribuan tahun masih dengan gagahnya berdiri disini.

Kesimpulanku, mereka para inlander bukanlah bangsa bodoh!

Ah, sungguh sukar dipercaya. Ketika aku bertemu dengan salah satu sahabatku yang berpura-pura menjadi bagian dari mereka, muslim, begitu sebutan mereka, sahabatku yang asli orang Holland ini mengatakan kalau kebiasaan belajar sesungguhnya sudah ada sejak zaman dahulu di tanah ini. Namun para penguasa dan penulis buku di kerajaan kita menutupinya.

"Kau tahu kan kebiasaan para pejabat di kerajaan kita. Mereka inlander! Kita harus memberikan stempel khusus bagi mereka. Bodoh, melarat, bau, terbelakang, dan aneka rupa kejelekan untuk mereka agar kita sebagai penguasa dinilai lebih segalanya di atas mereka!"

"Bagaimana Tuan? Apakah yang Tuan lakukan di negeri ini, merampas tanah kami, merampas makanan-makanan kami, merampas apa saja yang tuan inginkan disini... sudah sesuai dengan ajaran agama yang Tuan anut? Jika Tuan masih belum bisa menjawab pertanyaan saya, cepat tembakan bedil itu ke kepala saya. Mungkin Tuan akan puas setelah membunuh saya. Tapi saya jamin kalau saya lebih puas dibanding Tuan. Lebih baik saya mati dengan pelor di kepala atau di dada saya dari pada saya mati sia-sia di pinggir jalan sana! Hidup mulia menjadi manusia merdeka, atau mati syahid sebagai manusia terhormat adalah kehendak hidup saya!"

Untuk kesekian kalinya aku terhenyak. Tiba-tiba aku sadar kalau aku belum menjawab pertanyaan inlander ini.

Aku hanya bisa menatap wajah lelki muda ini dengan hening. Seketika itu juga, tiba-tiba aku teringat seseorang yang usianya kurang lebih sama dengan anak muda ini. Anakku... Ya, anakku. Sedang apa dia di tanah kelahiranku sana?

Popular posts from this blog

Dream of My Heart

Duhai dewiku yang lembut.... Dengarlah sapaan hatiku.... Masuklah engkau ke tungku asmaraku.... kan kubakar engkau dengan senyum cintaku...... ... ahhh..... Matamu yang sayu, bibirmu yang lembut mengguncang rinduku.... Hoooaaammmhhh……. Aku terbangun dari mimpiku.... Banyumas, 22 Agustus 2011 Dacho Darsono

MENANGGAPI MARAKNYA MINI MARKET

Kurang lebih 10 tahun yang lalu, saya bersama salah satu rekan kerja saya yang berprofesi sebagai guru membicarakan perihal peluang usaha yang sebenarnya masih terbentang luas di negeri ini. Berhubung kami tinggal di kampung, maka kamipun membicarakan peluang-peluang usaha yang bisa kami jalankan di kampung. Nah, waktu itu belum banyak mini market-mini market seperti saat ini. Kemudian timbul ide, kenapa tidak mendirikan mini market saja, bahkan kalau bisa super market? Apa bisa? Lha wong namanya juga ide... Maka dalam ide kami itupun tentu saja sangat bisa untuk mendirikan mini market. Pokok permasalahan awalnya adalah pada dana. Dari mana dananya? Nah lho.... Marilah kita berhitung dengan cara yang bodoh saja.... Hehehe... Misalkan dalam satu kampung ada 3.000 WARGA... lalu setiap warga "urunan" 1.000 rupiah saja, sudah berapa dana yang didapat? 3.000 x 1.000 = 3.000.000 TIGA JUTA RUPIAH Itu baru "urunan" seribuan ... Bagaimana jika 10.000? Tingal kalikan saja...

Supplier Marmer Berkualitas di Indonesia

Mempunyai tempat tinggal dan hunian mewah tentu menjadi idaman setiap orang, selain indah untuk dilihat juga terasa nyaman untuk ditinggali. mempercantik sebuah hunian banyak cara dilakukan oleh setiap orang. agar terlihat wah, biasanya digunakan beragam pernak pernik untuk menghias, seperti batu, keramik, bahkan marmer. Bicara mengenai Marmer, di Indonesia ada sebuah perusahaan bernama Fagetti yang merupakan perusahaan supplier marmer berkualitas yang sudah malang melintang diberbagai proyek besar di banyak kota di Indonesia. Supplier Marmer Berkualitas di Indonesia Sekilas Mengenai Fagetti Didirikan oleh Ferdinand Gumanti, satu-satunya orang di Asia yang menerima gelar "Master of Art Stone" oleh Antica Libera Corporazione Dell'Arte Della Pietra yang bergengsi di Italia, komitmen Fagetti adalah untuk memberikan yang terbaik kepada pelanggan, menyediakan peralatan dengan kualitas terbaik , manufaktur, bahan dan layanan batu. Di pabrik dan gudang seluas 23 hektar di Cibit