Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2015

Plisss..... Jangan Kau Nyanyikan Lagi Lagu Nina Bobo Itu

Nina bobo  Ooh Nina bobo Kalau tidak bobo digigit nyamuk =================================================== Siapa sih yang tak kenal lagu tersebut? Jika ada yang belum kenal, silahkan kalian kenalan lebih dahulu. Cocok ya syukur, kalau ndak cocok ya sahabatan saja. Wkwkwkwk. #comblang kaleee :) Tadinya bingung mau posting apa, eh pas semalam bidadariku nyanyi lagu "Nina Bobo" tiba-tiba munculah sesuatu yang sudah lama tak cari-cari. Ee siapa dia? Ide. Yupz, dari nyanyian tersebut munculah ide untuk postinganku kali ini. Ide ini muncul ketika tiba-tiba saja naluri kabapakanku tidak terima dengan baris terakhir dari lagu tersebut. Wah sok kebapakan banget sih lu son. Son son.. Wehehehe... Kalau tidak bobo digigit nyamuk . Nah ini dia bagian terakhir dari lagu Nina Bobo itu yang menyentuh relung hatiku yang terdalam. #lebayyyyy Lebay? Mungkin saja! Tapi coba ulang-ulang bait tersebut sembari bernyanyi. Bukan hanya dimulut sahaja, tapi cobalah untuk diresapi. Mari kita nyanyika

Sajak Siang

Mentari merona dengan angkuhnya sementara garis-garis cakrawala berjajar rapi membangun anyaman sang siang Aduhai kenari... Tolong panggilkan merpati kemari mendekap bumi Menghentak ribuan caci  yang tiada henti dari balik jeruji hati yang slalu menanti..... diri.....

MBAH SURO

Semenjak kematian mbah Suro, dusun Glathak semakin senyap setiap malamnya. Mbah Suro, lelaki paruh baya yang terkenal dengan ketinggian ilmu kanuragannya akhirnya tewas mengenaskan di tepi kali Tajum. Kepalanya sampai sekarang belum ditemukan. Hanya tubuhnya yang tak berkepala saja yang ditemukan di pinggir kali seminggu yang lalu. Yang mengherankan, tak setetespun darah yang mengalir dari bagian tubuhnya yang terpotong itu. Sungguh mencengangkan! Masih lekat diingatan kang Tarsun ketika seminggu yang lalu ia bersama kang Bodong menemukan jasad mbah Suro. Pagi masih buta ketika kang Tarsun dan kang Bodong berangkat memancing ke kali Tajum. Dua lelaki yang sudah bersahabat semenjak kecil itu memang punya kesamaan dalam banyak hal, termasuk memancing. Tak seperti biasa, pagi itu mereka sengaja memancing di sebuah kedhung yang terkenal dengan keangkerannya. Kedhung yang berada di kali Tajum itu bernama kedhung gathuk . Entah apa yang melatari pemberian nama tersebut. Yang jelas, di bagian

HILANG PERMATAKU.... HILANG PUISIKU.... YANG KUTULIS SEJAK DULU KALA

Jika saya ditanya, kenapa suka menulis di blog maupun sosial media lainnya? Maka salah satu jawabannya adalah karena saya suka nulis. Kok salah satu bro? Iya.... ndak papa kan? kalau salah satu kan masih dapat nilai A. Hehehe. Ya namanya juga suka, susah kan kalau sudah berbicara masalah suka? Hehehe. Kesukaan saya pada menulis, setelah saya renungkan dengan bijak di kamar isteri orang lain..... eh isteri sendiri, ternyata sudah dimulai semenjak saya SMP. Ada dua buku tulis saya yang berisi puluhan puisi hasil karya saya sendiri.  Buku tersebut saya simpan rapi. Sampai akhirnya, tanpa sepengetahuan saya, buku tersebut dijual oleh orang tua saya bersama buku-buku saya yang lainnnya. Kesal, marah, dan sedih bercampur menjadi satu. Tapi bagaimana lagi, yang menjual adalah orang tua saya. Dan orang tuaku ndak tahu bahwasanya ada dua buah buku yang berisi puisi-puisi tentang perjalanan hidup dan cintaku... Huhuhuhu.... Mau marahin orang tua? Ndak mungkin kan.... Pol-polan nya ya hanya se

DI ATAS KESEDIHAN INILAH KITA BERTEMU

Bismillah... Setelah sekian lama tidak menulis di blog yang cukup manis ini ;) alhamdulillah hari ini ada "sedikit" waktu luang untuk kembali corat-coret di blog ini. Bukan hanya tak lama menulis, dengan beberapa sahabat yang dulu biasa bertemu pada pengajian pekananpun lama tak bersua. Setelah saya dan beberapa sahabat memulai kehidupan baru, mulai dari punya kerjaan baru sampai punya isteri baru, eh, menikah maksud saya, intensitas pertemuan kami mulai berkurang. Bahkan bisa dibilang jarang. Ada kesan tersendiri ketika mengingat masa lalu kami ketika kami masih belum menikah. Mulai dari pengajian rutin, beraneka macam kegiatan hizbiyah, sampai beberapa aksi solidaritas yang kami ikuti. Sungguh manis berbagai kenangan yang telah kami lewati. Memang, silaturahmi masih terjaga. Apalagi di zaman serba canggih seperti ini, tak sulit bersilaturahmi meski via media sosial maupun melalui telepon seluler. Dan pagi itu, ketika baru saja sampai di tempat kerja hapeku berbunyi. Sebuah

MONOLOG JIWA

Aku mungkin masih bisa menari disela-sela pagi. Mungkin, ya mungkin. Tentu saja ketika engkau sedikit menyibakkan wajahmu dari balik tirai yang tak beraturan itu. Mungkin? Ya, mungkin. Tapi aku adalah lelaki yang tidak menyukai kemungkinan. Sangat..... sangat membenci kemungkinan. Mendengar kata "mungkin" saja perutku serasa mual. Muak! Aku tidak tahu kenapa. Sedari kecil, aku sangat membenci kemungkinan. Sekali lagi aku tak tahu mengapa. Aku hanya menyukai kepastian. Walau pada akhirnya, karena kepastian itulah jiwaku terkoyak..... terhuyung...... lemah tak berdaya. Hal apalagi yang lebih menyakitkan dari pada matinya jiwa? Bisakah kau menjawabnya? Tepukan-tepukan kemungkinan makin menyesakkan dadaku. Bencana-bencana kepastian makin menohok tulang belulangku. Ah, apa pula ini. Mungkin perkataanku hanya berlaku ketika engkau sudah berhasil memaku ruhku di samping kamarmu..... Sadarkah kamu?